Jumat, 11 Desember 2015

Refleksi Topik

Setelah mempelajari topik ini, secara pribadi saya terkesan dengan bagaimana Tuhan telah merancang alam yang ada dengan kompleksitas-kompleksitas yang tak terduga. Sifat-sifat koligatif ini membawa dinamika tersendiri bagi kehidupan manusia. Contohnya, manusia memanfaatkan tekanan osmosis untuk membunuh lintah yang mampu membawa penyakit. Selain itu, manusia juga mampu mencairkan salju dengan menambahkan sedikit garam. Tidak sampai di situ, bahkan manusia mampu mengaplikasikan teori osmosis dengan penerapan yang lebih mutakhir, yaitu reverse osmosis. Akibat yang terjadi adalah kebalikan dari proses osmosis, yaitu air yang bersih dapat melalui membran semipermeable sehingga dapat dipisahkan. Hal-hal ini semakin menunjukkan bahwa memang manusia diberi akal budi untuk menguasai segala ciptaan Allah. Selain itu, manusia juga memiliki sisi rohani, yang mampu mengaitkan hal-hal yang terjadi dalam hidupnya menjadi sebuah refleksi pribadi tentang hubungannya dengan Tuhan.

Dalam belajar sifat koligatif, saya memiliki sebuah simbolisme unik yang dapat dilihat dalam dua sifat koligatif, yaitu penurunan titik beku dan kenaikan titik didih. Manusia itu bagaikan air, suatu zat yang cukup dinamis (mampu berubah bentuk, mampu beradaptasi), namun memiliki hakekat yang tetap sebagai manusia. Saat jatuh ke dalam dosa, hati manusia membeku, bagaikan es. Manusia menjadi dingin dan keji, karena kehangatan dan kebahagiaan telah sirna. Seperti halnya sifat koligatif, "es" itu perlu ditambahkan "zat terlarut" agar bisa mencair. "Zat terlarut" ini saya gambarkan sebagai "kasih Yesus yang menyelamatkan". Zat terlarut ditambahkan ke dalam pelarut agar mampu mencair. Setelah menjadi cair, alias diselamatkan, manusia juga masih rentan untuk "menyimpang" dari perilaku yang sewajarnya. Lama kelamaan, "air" itu apabila dipanaskan akan mendidih, dan berubah menjadi uap. Panas yang mendidih ini bisa diibaratkan sebagai kedagingan yang ditawarkan oleh dunia, kehidupan yang keras, dan pencobaan-pencobaan lainnya. Manusia yang tidak tahan akan "menguap" dan "mengering". Di sinilah kembali kita lihat fungsi dari "zat terlarut" itu, yaitu menjaga agar air-air ini tetap dalam kondisi cair dan tidak menguap. Air-air tanpa "zat terlarut" diibaratkan sebagai manusia yang tidak kenal Tuhan, yang cepat menguap. Namun,  kita, air dengan "zat terlarut" itu, mampu memiliki ketahanan yang lebih supaya tidak cepat menguap.

Melalui simbolisme ini saya melihat bahwa kita membutuhkan suatu "zat eksternal" untuk dapat hidup dalam kekudusan. "Zat" tersebut membuat hati manusia yang beku menjadi cair, dan mencegah manusia yang sudah dicairkan hatinya untuk menguap dan menjadi kering. Tanpa zat ini, manusia dapat terus mengeraskan hati dan membeku. Namun, hal yang lebih bahaya adalah ketika manusia telah dicairkan, namun meninggalkan Tuhan, sehingga akhirnya hidupnya menguap kering, tidak tahan dengan keadaan zaman yang kejam. 

Demikian akhir dari bab ini. Semoga informasi dan refleksi yang tersedia bermanfaat.

4 komentar:

  1. ga nyangka bisa dikaitkan kayak gitu

    BalasHapus
  2. wow! analisa yang sangat tajam pasti menggunakan pisau analisis yang tepat. pertamax gan!

    BalasHapus
  3. Bagi saya sifat koligatif adalah topik yang sangat menarik untuk dipelajari dalam mata pelajaran kimia.

    BalasHapus